Penulis: Fathul Karimul Khair

Jumlah Hlm: 130

Harga: 60.000

Ukuran: 14×20

Sinopsis:

Skema ekonomi pariwisata budaya cenderung mengharapkan komoditas berbentuk ‘makna’ yang terkandung di dalam ritual dan kesenian tradisional untuk dijual pada wisatawan. Untuk itu, mulailah warisan adat dan budaya yang masih tersisa coba ditarik kembali ke permukaan. Kendati demikian, bagi masyarakat Wakatobi, khususnya yang menetap di Pulau Kaledupa, tari lariangi bukan sekadar komoditas yang ditampilkan untuk memeriahkan suasana. Lebih dari itu, tarian ini merupakan salah satu media masyarakat setempat menyimpan sejarah mereka sendiri sekaligus sarana penyebaran nilai-nilai keislaman. Setiap elemen tari lariangi, baik syair, musik, gerak, hingga pakaian tidak lain merupakan teras untuk memandang masa lalu. Namun, perubahan struktur politik pada zaman Hindia-Belanda diikuti dengan perubahan struktur pemukiman di seantero kepulauan semasa Orde Baru mengakibatkan ingatan yang dirujuk melalui tari lariangi kerap kali tumpang tindih. Menggunakan pandangan Jan Vansina tentang alat-alat mnemonik, buku ini hadir untuk mendiskusikan aspek-aspek memori kolektif masyarakat Wakatobi dalam tari lariangi sekaligus hendak mengonfirmasi klaim-klaim dalam memori tersebut melalui satu penelusuran sejarah.